TERSIRAT

TERSIRAT

Semakin kereta menjauhi Surabaya, semakin pula rasanya sesak memenuhi dadaku—tentu karena meninggalkan kota ini. Ya, kota tempat aku mencari jati diri, membawa pulang beragam jawaban, tapi juga satu pertanyaan yang masih terabaikan.

Masih belum percaya aku benar-benar tidak bertemu dengan orang-orang yang sudah berjasa padaku di Kota Pahlawan ini. Mesin kereta yang melaju cepat seolah menyadarkanku untuk segera kembali pada kehidupan yang semestinya—kenyataan yang akan dihadapi, suka atau tidak harus mengalah pada ego sendiri.

Aku memberanikan diri untuk mengucapkan "selamat tinggal" pada seseorang yang membiarkan aku pulang dengan satu pertanyaan yang ia abaikan. Satu pertanyaan yang pada akhirnya aku menyerah, dan mengerti ke mana alur yang harus aku tempuh. Bukan menuju dirinya, melainkan menuju diriku sendiri. Berusaha memahami setiap inci kejadian—bahwa sebenarnya dia telah memberikan jawaban tersirat. Berusaha membaca gerak-gerik terkecil hingga yang sangat jelas, bahwa tak ada kesempatan apapun, baik untukku maupun masa depanku.

Sekali lagi runtuhnya harga diriku, rasa maluku atas seluruh kesalahanku yang belum bisa menghentikanku untuk terus mencoba, namun nyatanya, tetap pertanyaan itu hanya terjawab melalui kiasan. 
Tak perlu lagi meminta, sebab kalau memang begitu Qadar-Nya, maka akan aku ikuti apapun yang Ia tunjukkan padaku.

Lalu aku mengirimkan pesan terimakasih dan maafku tersebut padanya. Tak lama muncul sebuah pesan, "Semoga -kamu- bahagia dunia dan akhirat." Balasnya singkat, sesingkat kisahku untuk selesai di sini.

Antara Surabaya dan Jakarta, 28 Oktober 2019

-A

Comments

Popular Posts