Hati yang Terbelenggu
Sekitar dua hari yang lalu, sampai kepadaku sebuah berita tentang ramainya pembubaran majelis ilmu di sebuah kota. Berbagai unggahan artikel, foto, hingga video bertebaran di sosial media.
Penceramah tersebut adalah seorang Ustadz (hafidzhahullaahu ta'ala) yang sudah diakui ilmunya oleh para syaikh dan professor di Madinah, hingga beliau diamanahkan untuk menyampaikan ceramah berbahasa Indonesia di Masjid Nabawi untuk para jama'ah haji dan umroh Indonesia. Dalam postingan tersebut, sang Ustadz (hafidzhahullaahu ta'ala) yang sedang memberikan ceramah tiba-tiba diberi tahu oleh Ustadz lainnya (hafidzhahullaahu ta'ala) bahwa di luar masjid sudah ramai orang yang ingin menghentikan ceramah tersebut. Mereka berteriak-teriak memaksa Ustadz (hafidzhahullaahu ta'ala) dan para jama'ah (rahimakumulaahu ta'ala) untuk segera berhenti dan pergi dari masjid--bahkan kota tersebut.
"Miris..." begitu pikirku, dan tak sadar aku sudah berlinangan air mata.
Bahkan, dakwah selembut kapas pun, tidak akan memasuki hati mereka, kalau memang Allaah Ta'ala belum memberi hidayah kepada mereka. Ya, aku tahu....
Aku tahu konsep tersebut. Tapi apa memang mereka harus sampai melempar sandal, memukul jama'ah (rahimakumullaahu ta'ala) merusak properti masjid, berteriak-teriak dan menuduh Ustadz (hafidzhahullaahu ta'ala) sebagai seorang wahabi yang haus akan darah ulama kota tersebut? Allaahu Yahdiik...
Ah, tapi memang begitulah sunnatullaahnya. Bahkan Rasulullaah Shalallaahu 'Alayhi Wa Sallam pun mendapatkan perlakuan yang lebih parah, lebih sadis dibandingkan itu.
Mungkin...
mungkin hati mereka masih terbelenggu.
Terbelenggu akan iming-iming dunia.
Terbelenggu akan jani-janji palsu para kiyai dan habib junjungan mereka...
Terbelenggu akan hal-hal yang diajarkan nenek moyang mereka, dan sudah mendarah daging di tubuh mereka, hingga rasanya sulit melihat kebaikan yang palsu dan kebaikan yang sesungguhnya.
Aku, pernah ada di situasi tersebut. Pernah ada di kondisi di mana aku tidak mengerti bahwa aku sudah terjatuh dalam hal yang syubhat. Seluruhnya samar. Seluruhnya abu-abu. Padahal, diin ini telah terang dan jelas, mana yang putih mana yang hitam. Mana yang terang mana yang gelap.
Sehingga, tak ada yang bisa aku lakukan selain mendoakan kebaikan bagi diriku agar aku tak luput dari diin ini...
Agar aku segera bangkit ketika futur itu datang...
Agar aku tidak berpaling lagi dari jalan ini...
Juga mendoakan untuk mereka yang belum mengerti, yang in syaa Allaah setelah ini semoga Allaah mengizinkan mereka untuk mengerti...
Semoga mereka diampuni oleh Allaah Yang Maha Pengampun...
Semoga Allaah turunkan hidayah bagi aku, kamu, dan mereka...
Semoga Allaah menyelamatkan kita, dari hati-hati yang terbelenggu.
Jazakumullaahu khayr.
Surabaya, 15 Juni 2019
Aya.
Comments
Post a Comment