Shalatlah Untuk Bahagia
Tulisan ini didedikasikan pada seseorang yang menginspirasiku. Judul kuambil dari sebuah bab di buku berjudul "Allah, Love&Life." Pertama kali aku melihat judul bab ini; "Shalatlah untuk Bahagia", mengingatkanku pada seseorang.
Berawal dari suatu malam, aku belajar bersama di sebuah restoran. Belajar semalam suntuk dengan harapan paling tidak ada yang bisa dikerjakan untuk ujian besok. Selesai belajar, kami bersiap untuk pulang. Kala itu, aku diberi tumpangan olehnya dengan mobil.
Sambil menunggu temanku yang lain beres-beres, ia berkata.
"Ya, gue mau nanya sesuatu deh." Keningku mengkerut.
"Tanya apa?"
"Hmm, nanti aja deh, di mobil." Katanya sambil berdiri melihat temanku sudah selesai beres-beres.
Di dalam mobil, mataku sayup-sayup. Dingin restoran yang menembus jaketku masih terasa, ditambah dingin AC mobilnya. Tak sengaja kukatakan, "sshh, dingin," sambil mengusap-usap tanganku pada jaket. Lalu ia berinisiatif menurunkan ACnya di angka satu.
Malam itu sedang hujan, hingga wajar saja dinginnya tidak biasa. Ah, aku ingat. Tadi dia ingin menanyakan sesuatu di mobil. Lalu aku mencoba mengingatkannya. "Lo tadi mau nanya apa?" Tanyaku setengah mengantuk.
"Oh, itu. Tadi siang, 'kan gue habis dari bengkel. Terus gue ke kampus buat ikut acara gitu lah. Kira-kira selesainya ashar. Pas gue mau sholat ashar, kan wudhu tuh. Nah gue baru banget sadar ternyata di ujung kuku salah satu jari gue, ada oli. Sedikit banget sih, setitik gitu mungkin. Terus 'kan gak ada sabun. Udah gue bersihin tapi seadanya banget. Terus yaudah gue sholat ashar. Nah itu kira-kira sholat gue diterima gak ya?" Tanyanya masih sambil menyetir menuju rumahku.
Jujur, aku tidak bisa menjawabnya. Malah bukannya aku berpikir, justru aku bertanya-tanya. Ini sudah larut malam, dan kejadiannya ashar tadi. Dia masih memikirkan sah atau tidaknya sholatnya ketimbang yasudah wallahu'alam saja?
Aku menjawab, "Waduh, gue gak tahu ya. Tapi 'kan lo udah usaha buat ngilangin olinya. Ya wallahu'alam aja." "Iya sih, tapi gue kayak kurang usaha gitu buat ngilanginnya. Makanya gue ragu sholat gue diterima gak ya?..." Aku tidak menjawab. Juga temanku yang ada di sebelahnya.
Mobil itu melaju hening setelah ia lontarkan pertanyaan tak terjawabnya itu. Aku bisa merasakan kekhawatirannya. Dan mungkin kekecewaannya karena dia tidak mendapatkan jawaban?
Begitukah kita selama ini?
Bila kita belajar dari ceritanya, kita juga bisa mendapatkan cinta-Nya layaknya ia yang khawatir akan shalatnya. Dengan syarat kita juga mau mencintai-Nya dengan melakukan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya.
Berawal dari suatu malam, aku belajar bersama di sebuah restoran. Belajar semalam suntuk dengan harapan paling tidak ada yang bisa dikerjakan untuk ujian besok. Selesai belajar, kami bersiap untuk pulang. Kala itu, aku diberi tumpangan olehnya dengan mobil.
Sambil menunggu temanku yang lain beres-beres, ia berkata.
"Ya, gue mau nanya sesuatu deh." Keningku mengkerut.
"Tanya apa?"
"Hmm, nanti aja deh, di mobil." Katanya sambil berdiri melihat temanku sudah selesai beres-beres.
Di dalam mobil, mataku sayup-sayup. Dingin restoran yang menembus jaketku masih terasa, ditambah dingin AC mobilnya. Tak sengaja kukatakan, "sshh, dingin," sambil mengusap-usap tanganku pada jaket. Lalu ia berinisiatif menurunkan ACnya di angka satu.
Malam itu sedang hujan, hingga wajar saja dinginnya tidak biasa. Ah, aku ingat. Tadi dia ingin menanyakan sesuatu di mobil. Lalu aku mencoba mengingatkannya. "Lo tadi mau nanya apa?" Tanyaku setengah mengantuk.
"Oh, itu. Tadi siang, 'kan gue habis dari bengkel. Terus gue ke kampus buat ikut acara gitu lah. Kira-kira selesainya ashar. Pas gue mau sholat ashar, kan wudhu tuh. Nah gue baru banget sadar ternyata di ujung kuku salah satu jari gue, ada oli. Sedikit banget sih, setitik gitu mungkin. Terus 'kan gak ada sabun. Udah gue bersihin tapi seadanya banget. Terus yaudah gue sholat ashar. Nah itu kira-kira sholat gue diterima gak ya?" Tanyanya masih sambil menyetir menuju rumahku.
Jujur, aku tidak bisa menjawabnya. Malah bukannya aku berpikir, justru aku bertanya-tanya. Ini sudah larut malam, dan kejadiannya ashar tadi. Dia masih memikirkan sah atau tidaknya sholatnya ketimbang yasudah wallahu'alam saja?
Aku menjawab, "Waduh, gue gak tahu ya. Tapi 'kan lo udah usaha buat ngilangin olinya. Ya wallahu'alam aja." "Iya sih, tapi gue kayak kurang usaha gitu buat ngilanginnya. Makanya gue ragu sholat gue diterima gak ya?..." Aku tidak menjawab. Juga temanku yang ada di sebelahnya.
Mobil itu melaju hening setelah ia lontarkan pertanyaan tak terjawabnya itu. Aku bisa merasakan kekhawatirannya. Dan mungkin kekecewaannya karena dia tidak mendapatkan jawaban?
Malam itu aku merenung. Memang sudah seharusnya manusia menyembah Tuhan-Nya. Tapi apakah kita benar-benar menyembah-Nya? Atau hanya sekedar menjalankan kewajiban, lalu sudah—pergi begitu saja? Aku malu, dan tidak bisa kusembunyikan maluku hingga sekarang. Memang sepatutnya kita mencintai shalat, tak sesepele mengerjakannya saja. Menancapkan dalam hati, bahwa inilah pertemuan dengan-Nya. Pertemuan yang kita tunggu-tunggu. Yang kita suka berlama-lama di dalamnya. Suka berdua dengan-Nya. Maka dengan menumbuhkan rasa cinta kita pada shalat, kita takkan melalaikannya. Adzan berkumandang takkan kita acuhkan. Wudhu akan kita sempurnakan. Baju akan kita rapihkan dan bersih dari najis. Kita akan memeriksa adakah hal yang mengganjal yang mencegah sholat kita 'tuk diterima seperti halnya cerita di atas meski hanya setitik oli di kukunya? Kita akan merapatkan shaf kita; kaki dan bahu senantiasa kita dempetkan pada orang di sebelah. Kita akan tuma'ninah. Kita akan meresapi tiap bacaan imam maupun bacaan kita sendiri. Kita akan menunggu waktu 'tuk bersujud, dan siap berlama-lama didalamnya. Kita takkan buru-buru berdiri usai salam, sebelum kita berdzikir menyebut asma-Nya. Sebelum kita curahkan seluruh cerita kita pada Yang Maha Mendengar. Hanya iman yang mampu meneguhkan rasa cintanya pada shalatnya. Hingga hal yang menurut kita sepele, seperti setitik oli di kuku yang sudah berusaha ia bersihkan, masih saja ia khawatirkan sah atau tidak shalatnya hingga larut malam. Dialah yang mencintai pertemuan dengan-Nya. Dialah yang mencintai shalatnya. Maka dialah yang akan terus bahagia.
Siapa yang tak bahagia bila ia mengetahui bahwa ia selalu disadarkan akan cinta-Nya? Bahwa ia selalu dalam rangkulan cinta-Nya, hingga apa-apa yang berpotensi menggagalkan cinta-Nya pada dirinya akan ia usahakan 'tuk pergi agar tak menghalangi?
Lantas, siapkah kita mencintai-Nya? Maukah kita memperbaiki shalat yang sama sekali belum sempurna?
Terakhir,
Shalatlah untuk mencintai-Nya, Shalatlah untuk mendapat cinta-Nya,
Shalatlah untuk bahagia.
Sabtu, 14 Januari 2017
21:57
Aya
x
Siapa yang tak bahagia bila ia mengetahui bahwa ia selalu disadarkan akan cinta-Nya? Bahwa ia selalu dalam rangkulan cinta-Nya, hingga apa-apa yang berpotensi menggagalkan cinta-Nya pada dirinya akan ia usahakan 'tuk pergi agar tak menghalangi?
Lantas, siapkah kita mencintai-Nya? Maukah kita memperbaiki shalat yang sama sekali belum sempurna?
Terakhir,
Shalatlah untuk mencintai-Nya, Shalatlah untuk mendapat cinta-Nya,
Shalatlah untuk bahagia.
Sabtu, 14 Januari 2017
21:57
Aya
x
Begitukah kita selama ini?
Bila kita belajar dari ceritanya, kita juga bisa mendapatkan cinta-Nya layaknya ia yang khawatir akan shalatnya. Dengan syarat kita juga mau mencintai-Nya dengan melakukan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya.
Comments
Post a Comment