Tentang Biru
Kala itu ia memakai baju biru—warna kesukaannya. Celananya dicincingkan sedikit di atas mata kaki.
Kakinya tak beralas, hingga pasir memenuhi seluruh pergelangan kakinya. Tak kulihat kesulitannya dalam berjalan di atas gundukan pasir. Ia justru berlari ke sana kemari—seolah itu pertama kalinya ia menginjak pasir. Kakinya lincah berlari mendekati ombak. Gelak tawanya terdengar sampai ke tempatku berdiri. Langit sore dan matahari yang masih mengintip, menjadi saksi 'tuk kami berdua. .
Meski aku tak berada di sampingnya, namun aku berada di dekatnya. Mendengar deburan ombak, mencium harum air pantai, dan memandangi keindahan-Nya secara diam-diam.
Bukan—bukan keindahan langit, pun matahari, apalagi gelombang air asin di depanku.
Tapi memandangi senyumnya, melihat tawanya, dan tingkah jenakanya. .
Aku mendatangi ombak ke tepian. Melepas jenuh, tersenyum syukur, menyambut air yang menggulung kakiku dengan bahagia. Terkadang sedikit berlari mundur—karena takut terseret, walaupun toh takkan tenggelam. .
Angin menyapu lembut wajahku, membuat khimar dan rokku berkibar mengikuti alurnya.
Mungkin angin juga menyuruhku menoleh—memberi sinyal, tak perlu sering memandangi keindahan alam, karena nyatanya keindahan itu ada di dekatku—bahkan selalu bersamaku.
Mungkin angin juga menyuruh hatiku, untuk menyapanya dalam sanubari. Meski tak terdengar—tapi semoga terasa. .
Aku tersentak. Bukan terkejut—namun tersipu. Ia menoleh ke arahku, seperti ia benar-benar terpanggil olehku. Kami bertatapan, dan berhenti—seolah waktu mengizinkan kami 'tuk saling merasa. Sedikit ku sunggingkan senyuman, namun ia beri seluruh tawanya padaku.
Mungkin angin tidak menyuruhnya menoleh padaku karena toh alurnya tak menuju padaku.
Tapi mungkinkah angin yang menyampaikan panggilan hatiku padanya, hingga kami saling menatap dalam diamnya kebahagiaan?
Ditulis 10 Mei 2017. 21:00
Terjadi 6 Mei 2017 17:00
Pantai Indrayanti, Jogjakarta
Kakinya tak beralas, hingga pasir memenuhi seluruh pergelangan kakinya. Tak kulihat kesulitannya dalam berjalan di atas gundukan pasir. Ia justru berlari ke sana kemari—seolah itu pertama kalinya ia menginjak pasir. Kakinya lincah berlari mendekati ombak. Gelak tawanya terdengar sampai ke tempatku berdiri. Langit sore dan matahari yang masih mengintip, menjadi saksi 'tuk kami berdua. .
Meski aku tak berada di sampingnya, namun aku berada di dekatnya. Mendengar deburan ombak, mencium harum air pantai, dan memandangi keindahan-Nya secara diam-diam.
Bukan—bukan keindahan langit, pun matahari, apalagi gelombang air asin di depanku.
Tapi memandangi senyumnya, melihat tawanya, dan tingkah jenakanya. .
Aku mendatangi ombak ke tepian. Melepas jenuh, tersenyum syukur, menyambut air yang menggulung kakiku dengan bahagia. Terkadang sedikit berlari mundur—karena takut terseret, walaupun toh takkan tenggelam. .
Angin menyapu lembut wajahku, membuat khimar dan rokku berkibar mengikuti alurnya.
Mungkin angin juga menyuruhku menoleh—memberi sinyal, tak perlu sering memandangi keindahan alam, karena nyatanya keindahan itu ada di dekatku—bahkan selalu bersamaku.
Mungkin angin juga menyuruh hatiku, untuk menyapanya dalam sanubari. Meski tak terdengar—tapi semoga terasa. .
Aku tersentak. Bukan terkejut—namun tersipu. Ia menoleh ke arahku, seperti ia benar-benar terpanggil olehku. Kami bertatapan, dan berhenti—seolah waktu mengizinkan kami 'tuk saling merasa. Sedikit ku sunggingkan senyuman, namun ia beri seluruh tawanya padaku.
Mungkin angin tidak menyuruhnya menoleh padaku karena toh alurnya tak menuju padaku.
Tapi mungkinkah angin yang menyampaikan panggilan hatiku padanya, hingga kami saling menatap dalam diamnya kebahagiaan?
Ditulis 10 Mei 2017. 21:00
Terjadi 6 Mei 2017 17:00
Pantai Indrayanti, Jogjakarta
Comments
Post a Comment