Hambanya Siapa?
Akhir-akhir ini, Surabaya cukup berangin. Cukup untuk mendorong aku yang sedang mengendarai motor sampai motorku miring sebelah. Cukup membuat masuk angin setiap aku pulang kerja dan harus mengoleskan minyak kayu putih setiap kali mau tidur.
Ya, begitulah aku dengan kehidupan baruku yang masih asing ini. Berkutat di dalam ruangan ber-AC dengan banyak tumpukkan kertas dan arsip, bertemu banyak orang dengan berbagai umur dan berbagai pekerjaan. Seolah aku dipaksa keluar dari zona nyaman. Terbiasa dibimbing dan dipantau, kali ini aku 'dilepas' namun membawa tanggung jawab yang lebih besar.
Kata banyak orang "mencari yang halal itu susah". Lantas kalau susah lalu mereka terima saja pekerjaan yang tidak halal itu, begitu?
Untuk memenuhi kebutuhan hidup katanya? Eh?
Kalau mereka bisa memakai akal sehat dan hati nuraninya, aku yakin kalimat "mencari yang halal itu susah" akan punya lanjutan "tapi pasti ada, hanya kita yang belum ketemu".
Yakinlah, seberapapun upah yang didapat, kalau itu berasal dari harta yang halal, pasti akan memenuhi kebutuhan* kita. Masa kita lupa siapa yang sebenarnya menurunkan rezeki? Apa kita hanya bergantung pada pekerjaan? Padahal pekerjaan itu hanya SALAH SATU sebab, dan rezeki tidak hanya datang dari pekerjaan kita yang entah halal atau tidaknya itu.
Tanyakan pada diri kita; apakah memang kita sudah sesungguh-sungguh itu dalam mencari sesuatu yang halal? Ataukah kita hanya buta pada banyaknya uang saja?
Tanyakan pada diri kita; apakah kita ini hamba Yang Maha Kaya, atau ternyata hanya hamba dunia saja?
Aya.
Jazakumullaahu Khayr.
ditulis 28 September 2019 di Kota Surabaya yang tumben-tumbennya sedang berangin kencang.
P.S.
*Kebutuhan yang kumaksud adalah kebutuhan primer seperti makan, tempat tinggal, dan pakaian yang menutup aurat. Kalau kebutuhanmu adalah tas Gucci, sepatu Jimmy Choo dan per-skin-care-an dengan merk SK II, maka ini beda cerita. Sepakat?
Ya, begitulah aku dengan kehidupan baruku yang masih asing ini. Berkutat di dalam ruangan ber-AC dengan banyak tumpukkan kertas dan arsip, bertemu banyak orang dengan berbagai umur dan berbagai pekerjaan. Seolah aku dipaksa keluar dari zona nyaman. Terbiasa dibimbing dan dipantau, kali ini aku 'dilepas' namun membawa tanggung jawab yang lebih besar.
Kata banyak orang "mencari yang halal itu susah". Lantas kalau susah lalu mereka terima saja pekerjaan yang tidak halal itu, begitu?
Untuk memenuhi kebutuhan hidup katanya? Eh?
Kalau mereka bisa memakai akal sehat dan hati nuraninya, aku yakin kalimat "mencari yang halal itu susah" akan punya lanjutan "tapi pasti ada, hanya kita yang belum ketemu".
Yakinlah, seberapapun upah yang didapat, kalau itu berasal dari harta yang halal, pasti akan memenuhi kebutuhan* kita. Masa kita lupa siapa yang sebenarnya menurunkan rezeki? Apa kita hanya bergantung pada pekerjaan? Padahal pekerjaan itu hanya SALAH SATU sebab, dan rezeki tidak hanya datang dari pekerjaan kita yang entah halal atau tidaknya itu.
Tanyakan pada diri kita; apakah memang kita sudah sesungguh-sungguh itu dalam mencari sesuatu yang halal? Ataukah kita hanya buta pada banyaknya uang saja?
Tanyakan pada diri kita; apakah kita ini hamba Yang Maha Kaya, atau ternyata hanya hamba dunia saja?
Aya.
Jazakumullaahu Khayr.
ditulis 28 September 2019 di Kota Surabaya yang tumben-tumbennya sedang berangin kencang.
P.S.
*Kebutuhan yang kumaksud adalah kebutuhan primer seperti makan, tempat tinggal, dan pakaian yang menutup aurat. Kalau kebutuhanmu adalah tas Gucci, sepatu Jimmy Choo dan per-skin-care-an dengan merk SK II, maka ini beda cerita. Sepakat?
Comments
Post a Comment